Revolusi Sains dalam Kosmologi dan Pembicaraan Tentang Tuhan

 


Sumber gambar: https://cdn-prod.opendemocracy.net/

Kosmologi tradisional pada mulanya berasumsi bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Orang-orang Yunani menginterpretasikan peristiwa-peristiwa alam di langit sedemikian rupa sebagai dekat dengan mereka karena langit dianggap sebagai wilayah ketuhanan, yang sempurna dan tidak berubah. Kosmos abad pertengahan dikatakan bersifat terbatas, dan terutama mengusung konsep alam semesta geosentris. Bahkan, hukum-hukum alam seperti keteraturan musim berpusat pada manusia, dalam arti bahwa mereka dapat dieksploitasi untuk tujuan manusia sendiri. Namun, pandangan tradisional ini kemudian runtuh seketika pada tahun 1543 ketika  Nicolaus Copernicus menyatakan dalam bukunya De Revolutionis Orbis bahwa gambaran mengenai alam semesta yang heliosentris memberikan penjelasan yang lebih sederhana mengenai gerak planet daripada gambaran yang diberikan oleh paham geosentrisme. Gagasan ini membuka jalan bagi lahirnya revolusi sains dalam bentuk kosmologi baru oleh Galileo Galilei, Johannes Kepler, Isaac Newton dan juga melalui sentuhan Rene Descartes serta Francis Bacon yang berusaha menemukan hukum-hukum yang mengatur alam semesta.

Di sisi lain, penemuan hukum-hukum alam menjadi dasar bagi sains untuk menyingkirkan Tuhan dan intervensi-Nya atas alam semesta. Sampai di sini, sains seakan-akan telah menang atas agama. Akan tetapi, muncul pertanyaan apakah klaim sains bahwa alam semesta bekerja menurut hukumnya sendiri tidak menuai problem? Atau apakah masih relevan berbicara mengenai Tuhan ketika alam semesta sudah bekerja menurut hukumnya sendiri? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tersebut dan terdiri atas: (1) Pemikiran beberapa tokoh penggagas revolusi sains dalam kosmologi dan implikasinya bagi teologi pada bagian akhir masing-masing pembahasan; (2) rangkuman implikasi revolusi sains; dan (3) jalan keluar atas perdebatan sains-agama.

Revolusi Sains

Revolusi yang dimulai oleh Copernicus baru kemudian berkembang menjadi sebuah revolusi yang mumpuni dalam sains setelah dilengkapi oleh “hukum-hukum gerak planet Johannes Kepler (1571-1630), tafsiran matematis Galileo Galileo (1564-1642), dan konsepsi mekanistik Isaac Newton (1642-1727). Dalam tataran yang lebih luas revolusi ini berlangsung melalui pemikiran metodologis dan epistemologis Rene Descartes (1596-1650)” serta empirisme Francis Bacon (1561-1626). Gagasan-gagasan yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh ini pada dasarnya berusaha untuk menemukan hukum-hukum mekanika yang mengatur keseluruhan alam semesta. Dengan demikian, arahnya adalah memulai sebuah revolusi sains dengan cara meruntuhkan konsep Aristoteles yang membagi semesta atas alam duniawi yang fana dan alam surgawi tempat hukum-hukum alam tidak bekerja.[1] Pembahasan berikut akan memperlihatkan pemikiran tokoh-tokoh di atas serta implikasinya terhadap teologi.

Nicolaus Copernicus

Nicolaus Copernicus lahir di Torun, di wilayah utara daerah yang sekarang disebut Polandia pada tahun 1473. Pendidikan dasar ditempuhnya di Universitas Jagiellonian di Cracow, kemudian dilanjutkannya di Bologna dan Padua Italia. Pada mulanya, bidang studi utamanya adalah hukum kanon. Namun, dia juga tertarik kemudian untuk mempelajari kedokteran dan astronomi. Ia mulai mendalami astronomi secara serius pada tahun 1503, sembari kembali ke Polandia dan tinggal secara tetap di Frombork (atau Frauenburg), sebuah kota kecil di Varmia. Hasil utama dari studinya ini adalah klaimnya mengenai alam semesta yang berpusat pada matahari. Tidak ada catatan mengenai kapan Copernicus sampai kepada ide ini, tetapi pada tahun 1512 ia menulis sketsa singkat mengenai sistem astronomi baru, yang dikenal sebagai Commentariolus, dan salinan tulisan tangannya disebarkan di antara sebagian kecil ilmuwan. Selain itu, dalam buku Narratio prima tahun 1540 karya satu-satunya murid Copernicus, yakni Georg Rheticus, kita menemukan catatan tentang sistem Copernican ini.[2]

Karya besar Copernicus, De Revolutionibus diterbitkan tepat pada tahun 1543, tahun kematiannya, setelah lama mengalami penundaan. Penundaan ini barangkali berkaitan dengan ketakutan akan reaksi Gereja Katolik terhadap karya itu nantinya. Dalam kenyataannya, pada tahun 1536 Kardinal Nicolaus von Schönberg mendesak Copernicus untuk menerbitkan karyanya, tetapi tidak berhasil. Copernicus menyadari bahwa karyanya ini akan menjadi kontroversial secara teologis. Namun, dalam pengantar untuk karya itu yang didedikasikan untuk Paus Paulus III, ia menolak anggapan demikian. Menurutnya, hanya orang-orang yang mengabaikan matematika yang menganggap karya itu sebagai sesat dan mengubah bagian di dalamnya agar sesuai dengan tujuan mereka. Memang, De Revolutionibus  sepenuhnya bersifat matematis.[3]

Dalam Commentariolus, Copernicus menguraikan konsep alternatif atas kosmologi tradisional dalam tujuh postulat utama. Menurutnya, pusat alam semesta bukanlah bumi, melainkan matahari.[4] Segala pergerakan yang muncul di cakrawala tidak muncul darinya, tetapi karena bumi itu sendiri bergerak. Selain berputar pada porosnya, bumi juga berputar mengelilingi matahari sebagaimana planet-planet lain. Copernicus lebih lanjut menunjukkan bahwa alam semesta memiliki dimensi yang sangat besar.[5] Klaim ini pada awalnya diterima dengan skeptis karena menghancurkan pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa surga tidak pernah berubah.[6]

Ada polemik mengenai sebuah gagasan yang tertuang di dalam pengantar De Revolutionibus, yakni bahwa apakah itu merupakan pernyataan Copernicus sendiri atau tidak. Copernicus menyatakan bahwa teori heliosentris hanyalah model komputasi dan bukan model yang diklaim benar dalam arti fisik. Akan tetapi, kalimat ini sebenarnya tidak ditulis oleh Copernicus, melainkan oleh Andreas Osiander, seorang teolog Lutheran yang pada waktu itu dipercayakan sebagai pengawas ketika De Revolutionibus dicetak. Copernicus sendiri tentu saja tidak sependapat dengan Osiander dan kalimat di dalam kata pengantar itu ditulis oleh Osiander, sebagaimana diungkapkan oleh Kepler pada tahun 1609 yang menyatakan bahwa tidaklah masuk akal Copernicus menganut posisi instrumentalis sebagaimana diuraikan di dalam pengantar itu.[7]

Copernicus ingin mengubah konsep Ptolomeus dan mengembangkan teori astronomis yang bertentangan dengan tradisi dan akal sehat. Menurut sistem semesta Ptolemaik,  lingkaran tambahan harus ditambahkan kepada lingkaran tambahan lain agar cocok untuk pengamatan. Keberatan utamanya adalah bahwa pusat-pusat siklusnya tidak bergerak dengan kecepatan yang seragam pada penangguhan,[8] tetapi berhubungan dengan persamaan yang khayali. Di bagian pembuka dari Commentariolus, Copernicus menganggap konsep Ptolomeus sebagai pengkhianatan terhadap doktrin fundamental bahwa gerak melingkar yang seragam adalah satu-satunya bentuk yang diperbolehkan bagi pergerakan di langit. Ia menyatakan bahwa bumi dan planet-planet lainnya berputar mengelilingi matahari dengan kecepatan yang seragam.[9]

Implikasi dari Revolusi Copernicus dengan demikian adalah menggeser manusia dari “pusat kegiatan alam semesta mistis melalui peralihan dari kosmogoni ke kosmologi.”[10] Artinya, alam tidak lagi dikaji dari sudut subjektivitas manusia, melainkan secara objektif. Selain itu, model tata surya Copernicus menempatkan matahari di pusat alam semesta dan menggeser klaim yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Matahari sendiri tidak bergerak, sehingga model pergerakannya berlawanan dengan klaim Ptolemaik (sebagaimana dianut Gereja Katolik) yang mengatakan bahwa bumi itu statis.

Galileo

Langkah selanjutnya terjadi ketika Galileo Galilei menggunakan teleskop untuk menunjukkan bahwa bahkan matahari tidak istimewa. Ia yang pada waktu masih muda mendukung kosmologi tradisional pada akhirnya mendukung gambaran dunia Copernicus sampai akhir hidupnya. Ia berhasil membuat sebuah penemuan sensasional dan mengubah seluruh gambaran alam semesta dengan tabung optik baru pada tahun 1610, sebagaimana dilaporkan di Sidereus nuncius. Ketika dia mengarahkan teleskop primitifnya menuju Bima Sakti, dia langsung memecahkan teka-teki yang menyelimuti astronom dan filsuf alam selama kurang lebih dua ribu tahun. Menurutnya, Bima Sakti hanyalah kumpulan bintang yang tak terhitung banyaknya yang dikelompokkan bersama dalam suatu kelompok. Penemuan ini menjadi sebuah kegembiraan besar dan berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh kaum terpelajar Eropa.[11]

Galileo juga menemukan bintik-bintik di Matahari dan menyimpulkan bahwa Matahari berputar dengan jangka waktu sekitar 28 hari.[12]  Ketika Galileo mengarahkan teleskopnya, ia melihat bahwa banyak bintang yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang. Lalu ia melakukan pengamatan yang sama terhadap planet dengan cara memperbesarnya dan menemukan bahwa mereka terlihat seperti cakram. Hasil pengamatan ini membawanya pada kesimpulan bahwa bintang-bintang harus berada pada jarak yang sangat jauh dari bumi, seperti yang diklaim oleh Copernicus. Argumen lain yang mendukung dengan kuat gagasan Copernicanisme dan dengan demikian menentang sistem Ptolomeus adalah penemuan Galileo yang memperlihatkan Venus menunjukkan fase. Satu-satunya cara untuk menjelaskan fase-fase Venus yang diamati adalah dengan mengasumsikan bahwa planet bergerak dalam orbit mengelilingi matahari. Hal ini sangat bertentangan dengan sistem Ptolemaik.[13] Di sisi lain, penemuan ini tidak hanya menimbulkan keraguan pada heliosentrisme, melainkan juga sangat meningkatkan ukuran alam semesta.[14] 

Galileo sangat gigih dalam menemukan konsepsi baru mengenai apa yang merupakan filsafat alam dan bagaimana itu dikejar. Pada tahun 1611, ketika ia  meninggalkan Padua untuk kembali ke Florence dan menghadiri pengadilan Medici, ia meminta gelar Filsuf serta Ahli Matametika. Permintaan ini berkaitan dengan tujuan skala besar Galileo, yakni untuk  menggantikan rangkaian konsep analitis tradisional yang terkait dengan tradisi filsafat alam Aristotelian. Sebagai gantinya ia menawarkan seperangkat konsep mekanis yang kemudian dipakai untuk mengembangkan “ilmu baru” dan dengan demikian menjadi ciri khas filsafat baru. Ia ingin menghapus kategori fisik Aristotelian dengan klaim satu langit (eter atau elemen kelima) dan empat elemen terestrial (api, udara, air, dan bumi) dan sifat arah diferensial mereka (melingkar, naik, dan turun) dengan hanya menyisakan satu elemen, materi korporeal, serta cara yang berbeda untuk mendeskripsikan ciri dan gerakan materi dalam hal kesetimbangan hubungan proporsional matematis. Dengan melakukan itu, Galileo mengubah cara berpikir mengenai materi dan geraknya, dan dengan demikian  mengantarkan pada tradisi mekanis yang menjadi ciri banyak sains modern.[15]  

Johannes Kepler

Johannes Kepler (1571-1630) dikenang dalam sejarah sains terutama karena tiga hukum gerak planetnya. Kepler tampaknya tidak bisa mempertahankan sistem kosmologis Copernicus tanpa mereformasinya secara radikal. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ia melangkah lebih jauh dari Copernicus sendiri. Hukum pertama Kepler menyatakan bahwa orbit sebuah planet adalah elips yang mana matahari berada di salah satu fokusnya. Sementara itu, hukum keduanya berbunyi vektor jari-jari dari matahari ke planet (katakanlah planet P) menyapu luas yang sama dalam waktu yang sama. Dengan kata lain, “luas daerah yang disapu pada selang waktu yang sama akan selalu sama. Oleh karena itu, planet P lebih cepat pada perihelion[16], tempat ia lebih dekat ke matahari, dan lebih lambat di aphelion[17], tempat ia lebih jauh dari matahari”.[18] 

Konsekuensi kosmologis dari kedua hukum ini adalah sebagai berikut. Hukum pertama menghapus aksioma lama dari orbit melingkar planet-planet dan memulai pendekatan yang lebih empiris terhadap kosmologi. Orbit melingkar planet-planet pada waktu itu masih dianut tidak hanya oleh astronom dan kosmolog sebelum Copernicus, tetapi juga oleh Copernicus sendiri,  Tycho, dan Galileo. Hukum kedua menggantikan aksioma lain dari astronomi tradisional, yang menyatakan bahwa gerakan planet-planet memiliki kecepatan yang seragam. Sebaliknya, Kepler menegaskan realitas perubahan kecepatan gerakan planet dan memberikan penjelasan fisik untuk perubahan tersebut.[19] 

Hukum ketiga Kepler sering juga disebut “hukum harmonik”, sebagaimana ditemukan pertama kali di dalam karyanya Harmonice mundi (1619). Hukum ini seringkali ditulis dalam notasi: (T1/T2)2= (a1/a2)3, yang mana T1  dan Tmewakili waktu periodik dan a 1 dan 2 mewakili panjang sumbu semi-mayornya. Lebih lanjut, hukum ini sering dirumuskan dengan notasi: 3 / 2 = K, dengan yang menyatakan bahwa hubungan antara pangkat tiga jarak dan kuadrat waktu adalah suatu konstanta. Konsekuensi dari hukum ketiga ini adalah bahwa waktu yang dibutuhkan planet untuk mengelilingi matahari akan meningkat secara signifikan jika semakin jauh atau semakin panjang radius orbitnya. Bagi perkembangan kosmologi, hukum ketiga ini sangat penting untuk memenuhi pencarian Kepler akan sebuah representasi yang sistematis dan mempertahankan konsep Copernican,  sehingga planet tidak sepenuhnya independen satu sama lain, tetapi terintegrasi dalam sistem dunia yang harmonis.[20]

Bacon dan Descartes

Tokoh-tokoh lain seperti Francis Bacon dan Descartes juga turut mengambil peran di dalam membentuk panduan pemahaman mengenai hukum-hukum mekanika yang bekerja di seluruh alam semesta. Bacon, misalnya, menekankan bahwa manusia akan mampu menjelaskan semua proses di alam jika ia dapat memperoleh pemahaman penuh atas struktur tersembunyi dan cara kerja rahasia dari materi. Gagasannya, yang menjelaskan bahwa struktur di alam bekerja menurut metode kerjanya sendiri, memusatkan perhatian pada pertanyaan tentang bagaimana alam dihasilkan, yakni melalui interaksi materi dan gerak.[21]  Untuk itulah Bacon dianggap sebagai tokoh empirisme yang mengajarkan bahwa untuk dapat mempelajari cara kerja alam dan kemudian menguasainya, ilmu alam atau sains harus berasaskan observasi ilmiah.

Selain Bacon, Descartes juga berperan penting dalam revolusi sains dengan sumbangan pentingnya berupa “metode” dalam filsafat. Descartes mengembangkan teori ambisius yang konon didasarkan pada materi dan gerak untuk menjelaskan semua fenomena alam, termasuk yang ada di langit.[22] Kalimatnya yang terkenal adalah “kesangsian adalah asal pengetahuan (Doubt is the origin of wisdom). Ia terkenal dengan method of doubt atau metode penyangsian yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus diuji. Caranya adalah: (1) jangan mempercayai apa pun sampai terbukti kebenarannya; (2) analisis setiap masalah dengan memilah semua bagiannya; (3) identifikasi semua kemungkinan dari satu masalah; dan (4) temukan solusi langkah demi langkah, paling mudah terlebih dahulu, kemudian beranjak ke yang lebih sulit dan paling sulit.[23]

Menurut saya, meskipun etika Cartesian tetap mengakui keberadaan Tuhan, akan tetapi penekanannya pada bagaimana segala sesuatu harus dibuktikan kebenarannya, mempunyai implikasi besar pada perkembangan kosmologi, yakni bahwa ilmuwan atau astronom dapat menjadi tuan atas alam. Hal yang sama juga berlaku pada empirisme Bacon, yakni bahwa ketika kita menemukan cara untuk menguasai alam, kita tidak lagi memerlukan konsep-konsep teologis (maupun ekologis) ketika berhadapan dengan alam. Dengan pengetahuannya, manusia menjadi tuan atas alam.

Newton          

Pandangan kita mengenai alam semesta akan bergeser secara signifikan dengan ditemukannya hukum gravitasi universal Isaac Newton. Dengan ditemukannya hukum gravitasi, segala fenomena fisik dapat dimengerti sebagai gerak partikel benda akibat kekuatan tarik-menarik. Dia menghubungkan fenomena astronomis dengan segala sesuatu yang terjadi di Bumi. Melalui publikasi karyanya yang berjudul Principia pada tahun 1687, lahirlah pandangan mekanistik mengenai alam semesta yang dianggap sebagai semesta yang dikendalikan.

Lebih jauh, Newton melarang manusia untuk menganggap bahwa gravitasi universal yang ia kemukakan berusaha untuk menandakan kinerja jam tangan, sebab menurutnya alam terus diintervensi dan dikendalikan. Ia menjelaskan, bahwa seluruh gerakan alam semesta pasti menunjukkan kecenderungan untuk tunduk pada dominasi ‘Yang Tunggal’, sebagai Tuhan monoteis yang monarkis.[24]   

Rangkuman Singkat: Implikasi Revolusi Sains atas Teologi

Dalam pembahasan di atas kita telah melihat konsep pengetahuan baru beberapa tokoh dalam revolusi sains, terutama dalam bidang kosmologi, beserta implikasi teologisnya. Kiranya dapat disimpulkan secara umum bahwa implikasi dari revolusi sains abad ketujuh belas itu. Pertama, revolusi sains dalam kaitannya dengan konsep kosmologi alam semesta dipahami hanya tersusun atas satu unsur (universe), bersifat deterministik, mekanis, dan juga matematis.  Kedua, dalam kaitannya dengan teologi, revolusi sains membuat sebagian dari pembicaraan mengenai kosmos lepas dari konsep-konsep bernada teologis seperti paham penciptaan, Tuhan atau entitas tertinggi lainnya, yang dalam kosmologi tradisional menjadi begitu sentral.

Bagi sains, konsep-konsep dalam teologi dan filsafat itu bisa diabaikan dan tidak rasional karena tidak bisa diuji kebenarannya secara ilmiah. Akibatnya, bagi sebagian filsuf, alam semesta atau realitas hanya dibatasi pada apa yang dapat diamati secara objektif, yang bersifat pasti dan bisa diukur. Di sisi lain, realitas meta-indrawi, pengalaman spiritualitas keagamaan, pengalaman akan keindahan, dan imajinasi dianggap irasional dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Penutup: Sebuah Dialog

Bagian ini berisi tanggapan sekaligus jalan keluar atas keseluruhan pembahasan ini. Pertama, meskipun sains telah terbukti berkontribusi positif terhadap perkembangan dunia modern dan dalam hal ini pemahaman kita mengenai alam semesta, sains tidak boleh jatuh ke dalam fanatisme atau antusiasme berlebihan, yang menganggap kebenaran satu-satunya mengenai realitas adalah kebenaran saintifik. Kebenaran di luar sains atau yang tak dapat dibuktikan oleh sains kemudian dianggap irasional dan pantas untuk diabaikan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada realitas-realitas atau bidang kajian yang tidak tersentuh oleh metodologi sains dan dapat diserahkan kepada teologi maupun filsafat. Akibat fanatisme ini, sains justru menutup diri terhadap adanya realitas meta-indrawi, seperti spiritualitas keagamaan, imajinasi, seni dan sebagainya.

Kedua, sains dan teologi harus berdialog agar persoalan-persoalan yang berada di luar batas-batas metodologi saintifik dapat terpecahkan.[25] Masalah-masalah ini berkaitan dengan apa yang tidak terjangkau oleh penelitian saintifik. Dalam bidang teologi, misalnya, persoalan mengenai keberadaan Tuhan di balik alam semesta dianggap melampaui apa yang dapat diteliti oleh sains. Untuk menjawab permasalahan ini, sains harus menggunakan  prinsip teologis agar tidak jatuh pada kesimpulan bahwa Tuhan dan realitas meta-empiris lain tidak rasional karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebaliknya, filsafat dan teologi memberi makna baru terhadap penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh sains. Dengan demikian, apa yang berada di luar jangkauan metodologi masing-masing dapat terpecahkan .

Ketiga, teologi (dan filsafat) akhirnya harus menggunakan  prinsip saintifik untuk memperkaya persoalan makna, tradisi, iman, dan spiritualnya. Saat ini sains memberikan teologi suatu kerangka berpikir yang lebih luas berkaitan dengan tema “apa artinya menjadi manusia di dunia yang diciptakan”.[26] Dalam hal ini, teologi dan filsafat dapat memakai objektivitas sains yang menyangkut data-data ilmiah, ketajaman analisis, dan kedalamannya dalam menggali kebenaran untuk memperkaya pemahamannya mengenai segi-segi rohani dan praktis manusia.

Keempat, sebagaimana menurut Newman dalam esainya yang berjudul The Development of Christian Doctrine (1854), doktrin Kristiani harus memiliki kriteria anticipation of its future dalam kaitannya dengan perkembangan sains. Artinya, doktrin Kristiani harus mampu menyesuaikan dirinya dengan pemahaman baru dalam sains di waktu mendatang. Konsep penciptaan, misalnya, dapat disintesiskan dengan paham evolusi dengan cara menafsirkan secara benar beberapa bagian dalam Kitab Kejadian.[27] Dalam kaitannya dengan kosmologi, terhadap pencapaian apa pun yang baru di waktu yang akan datang, teologi harus mampu melakukan sintesis dengan sains agar dapat memperoleh pemahaman baru mengenai Tuhan.


Catatan akhir:

[1] Bdk. Karlina Leksono Supelli, Kosmologi empiris konstruktif suatu telaah filsafat ilmu terhadap asas antropik kosmologis (Abstraksi Disertasi), dalam http://lib.ui.ac.id/abstrakpdf.jspdetail?id=83552&lokasi=lokal (diakses pada Senin, 21 Desember 2020, pukul 21.35 WIB)

[2] Helge. Kragh, Conceptions of Cosmos: From Myths to the Accelerating Universe: A History of Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2007), 47.  

[3] Ibid, 47-48.

[4] Gambaran heliosentris sebelumnya telah diajukan oleh Artistarchus dan Nicholas de Cusa, yang pada 1444 menyatakan bahwa semesta tidak memiliki pusat dan terlihat sama di mana-mana. Kemudian pada tahun 1572 Tycho Brahe melihat supernova masuk tatanan Cassiopeia. Supernova itu menjadi cerah tiba-tiba dan kemudian meredup satu tahun. Namun, fakta bahwa posisinya yang jelas tidak berubah saat Bumi bergerak mengelilingi Matahari menyiratkan bahwa Bumi jauh melampaui Bulan. Lih. Bernard Carr, ed., Multiverse or Universe? (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 7-8.

[5] Helge Kragh, Op.cit., 48.

[6] Bernard Carr, ed., Op.Cit., 8.

[7] Helge Kragh, Op.cit., 48-49.

[8] Dalam sistem astronomi Ptolomeus orbit melingkar besar diikuti oleh pusat lingkaran tambahan kecil di mana sebuah planet diperkirakan bergerak.

[9] Ibid., 49.

[10] Karlina Leksono Supelli, Op.cit.

[11] Helge Kragh, Op.cit., 60-61.

[12] Sebelumnya orang Inggris bernama Thomas Harriot telah mempelajari Matahari dengan teleskop dan mengamati bintik matahari sedikit lebih awal, tetapi tanpa menerbitkan pengamatannya, dan pengamatan mata telanjang Cina dibuat jauh lebih awal. Lih.Ibid., 62.

[13] Ibid., 62.

[14] Bernard Carr, ed., Op.cit., 8.

[15] Peter Machamer, “Galileo Galilei”, dalam https://plato.stanford.edu/entries/galileo/, (diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 03.27 WIB).

[16] Titik di orbit planet, asteroid, atau komet yang terdekat dari matahari.

[17] Titik di orbit planet, asteroid, atau komet yang terjauh dari matahari.

[18] Daniel A. Di Liscia, “Johannes Kepler” dalam https://plato.stanford.edu/entries/kepler/#CopRefThrPlaLaw, (diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 01. 52 WIB).

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Jurgen Klein & Guido Giglioni, “Francis Bacon”, dalam https://plato.stanford.edu/entries/francis-bacon/, (diakses pada Ka mis, 24 Desemeber 2020, pukul 00.16 WIB).

[22] Helge Kragh, Op.cit., 67.

[23] Fahrudin Faiz, “Ngaji Filsafat 222: Rene Descartes-Skeptisisme”, YouTube, diupload oleh MJS Channel, 20 Maret 2019, https://youtu.be/qgyQ5O0X4W8, (diakses pada 24 Desember 2020, pukul 00.33, WIB).

[24] Helge Kragh, Op.cit., 71.

[25] Bdk. Joan Damaiko Udu, “Teologi Big Bang dan Paham Penciptaan dalam Kristianitas”, dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017, 48.

[26] Karlina Supelli, dkk, Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), 184.

[27] Agnes Patricya Sidabutar, dkk., “Sains dalam Karya-karya Teologi: Dari Dialog Menuju Integrasi Intelektual”, dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017, 58-59, mengutip Giuseppe Tanzella-Nitti, “Natural Sciences in the Work of Theologians”, http://www.inters.org.


Daftar Pustaka

Carr, Bernard (ed.). Multiverse or Universe? (Cambridge: Cambridge University Press), 2007.

Faiz, Fahrudin. “Ngaji Filsafat 222: Rene Descartes-Skeptisisme”. YouTube. Diupload oleh MJS Channel, 20 Maret 2019, https://youtu.be/qgyQ5O0X4W8, (diakses pada 24 Desember 2020, pukul 00.33, WIB).

Klein, Jurgen & Guido Giglioni. “Francis Bacon”. (Pertama kali dipublikasikan pada Minggu, 29 Desember 2003;  revisi penting pada Jumat, 7 Desember 2012). Dalam https://plato.stanford.edu/entries/francis-bacon/, (diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 00.16 WIB).

Kragh, Helge. Conceptions of Cosmos: From Myths to the Accelerating Universe: A History of Cosmology. (Oxford: Oxford University Press), 2007.

Liscia, Daniel A. Di. “Johannes Kepler”, (Pertama kali dipublikasikan pada Senin, 2 Mei 2011; revisi penting pada Selasa, 21 Mei 205). Dalam https://plato.stanford.edu/entries/kepler/#CopRefThrPlaLaw, (diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 01. 52 WIB).

Machamer, Peter. “Galileo Galilei”. (Pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 4 Maret 2005;  revisi penting pada Rabu, 10 Mei 2017). Dalam https://plato.stanford.edu/entries/galileo/ (diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 03.27 WIB).

Sidabutar, Agnes Patricya dkk. “Sains dalam Karya-karya Teologi: Dari Dialog Menuju Integrasi Intelektual”. Dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017: 61-62.

Supelli, Karlina, dkk. Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme. (Jakarta: Mizan Publika), 2011.

Supelli, Karlina. Kosmologi empiris konstruktif suatu telaah filsafat ilmu terhadap asas antropik kosmologis (Abstraksi Disertasi). Dalam http://lib.ui.ac.id/abstrakpdf.jspdetail?id=83552&lokasi=lokal (diakses pada Senin, 21 Desember 2020, pukul 21.35 WIB)

Udu, Joan Damaiko. “Teologi Big Bang dan Paham Penciptaan dalam Kristianitas”. Dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017: 39-50.

Comments